TUGAS MERANGKUM 5 HALAMAN FILSAFAT ILMU PAI-4
FILSAFAT PENDIDIKAN AKHLAK
DR. Sehat Sultoni Dalimunthe, M.A.
Oleh : poniseh
BAB I
PENDIDIKAN DAN AKHLAK
A. Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar seseorang atau kelompok orang untuk mengembangkan potensi yang ada pada diri seseorang untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat dan membuat manusia lebih kritis dalam berfikir.
Pendidikan itu terbagi menjadi dua yaitu: Pertama, pendidikan islam, dan kedua, pendidikan umum. Ahmad Tafsir menyebutkan pendidikan Islam sangat luas, yaitu Filsafat Pendidikan Islam, Ilmu Pendidikan Islam, Teknologi Pendidikan Islam, dan Manual Pendidikan Islam. Sedangkan pendidikan umum seperti matematika, biologi, kimia, bahasa indonesia, fisika, statistik, kedokteran, fermasi, ekonomi, perbankan dan lain sebagainya. Istilah pendidikan Islam dalam Konferensi Dunia Tentang Pendidikan Islam di Jeddah tahun 1979 merekomendasikan tiga term, yaitu attarbiyah, at-ta`lim, dan at-ta’dīb.
1. At-Tarbiyyah
istilah al-tarbiyah disebutkan oleh al-Raghib alAshfahani, bahwa pendidikan adalah sesuatu yang never ending process, yang artinya proses pendidikan tidak boleh berakhir dan harus berkelanjutan. Bukan berarti kalau sudah Profesor berhenti menjalani proses pendidikan. Akan tetapi selagi masih ada nyawa dibadan dan tubuh ini maka proses pendidikan akan terus berlanjut karena ada kata mutiara atau mahfudzot mengatakan “tuntutlah ilmu dari buaian sampai keliang lahat.” Ini berarti proses pendidikan akan terus berlaku bagi siapa saja baik itu muda ataupun tua dan akan berakhir ketika nyawa sudah tak ada lagi di badan dan itu artinya adalah sampai datang nya kematian. Dalam perspektif filsafat pendidikan akhlak, tujuan pendidikan akhlak paling rendah adalah “menghadirkan kasih sayang”. Orang yang berakhlak mulia, paling rendah, dalam dirinya memiliki rasa kasih sayang (ar-rahmah). Kasih sayang ini adalah bagian yang penting dan positif dalam pendidikan (tarbiyah).
Berdasarkan Q.S. Ali Imran/3:79 yang Artinya,“….Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” Surah tersebut menggambarkan bahwa pendidikan akan melahirkan manusia yang penuh kasih sayang ketika mempelajari dengan benar apa saja yang terkandung dalam kitab tersebut dan kitab yang dimaksud adalah Al Qur’an. Dan dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan berusaha menghasilkan orang-orang yang penyayang, bijaksana (al-hikmah), orang-orang berilmu, dan orang-orang yang lembut hatinya. Kemudian yang disebut berilmu, tidak sekadar hafal, tetapi harus paham. Artinya seseorang yang sedang menempuh pendidikan tidak hanya mengerti akan ilmu tersebut tetapi harus bisa memahaminya dengan menerapkan ilmu tersebut dalam kehidupan sehari-harinya Sampai tidaknya target pengajaran, peserta didik harus paham pelajaran.
Selain itu al-tarbiyyah juga bermakna `inâyah yang berarti menolong, tidak menuntun peserta didik itu mencapai tujuannya. Di sinilah barangkali perubahan peran pendidik dalam konteks pendidikan modern sekarang yang berubah dari fungsi mengajar dengan membimbing, mengarahkan, mengatur dsb. Pendidik dituntut sebagai penolong bukan pengantar menuju cita-cita pendidikan.
2. Ta`lim
Dibandingkan dengan istilah tarbiyah, ta’dīb, dan tadrīs, istilah ta`līm lebih banyak dan jelas di dalam Alquran. Kata kerja “ta`līm”, yaitu “yu`allimukum, `allamakum, `allamahu allāhu, `allam rabbi, `allamtum, tu`allimunahu, `allamakumu allāh, `allamukum al-sihra, dan yu`allimuna al-nas assihra. Yang mengajar atau yang melakukan pekerjaan. Dan yang mengajar disini dimaksudkan yaitu Alah yang mengajarkan dalam Al Qur’an terhadap persoalan apa saja yang akan terjadi didunia dan menggambarkan juga bagaimana itu akhirat, surga, neraka, serta hari kiamat kelak. Semua persoalan itu sudah ada dan tertulis dalan Al Qur’an dan ditambah lagi Nabi Muhammad juga sudah mempertegas di dalam sunnah nya terhadat persoalan manusia baik dari perilaku hingga pahala dan dosa yang di dapat jika mengerjakan sesuatu. Dan sebagai manjsia biasa kita sendiri yang menentukan perkerjaan yang baik kah atau yang burukkah yang ingin kita lakukan. Ingin pahala yang akan menempatkan kita pada surga Allah atau dosa yang menempatkan kita pada nerakanya Allah. Itu semua tergantung usaha kita dalam mendapatkannya dan ingin yang mana semua itu kembali pada diri sendiri.
Di dalam Alquran orang yang belajar itu disebut mu`allam, yaitu yang menerima pelajaran dalam Q.S. al-Dukhan/44:14. Dalam ayat tersebut, Nabi Muhammad Saw. yang menjadi mu`allam. Dalam istilah pendidikan tidak populer istilah itu. Yang terkenal adalah tilmîdz, thâlib, dan al-muta`allim. Ta`lîim dalam Alquran bisa bermakna “mengajarkan secara perlahanlahan (berulang-ulang dalam jumlah yang banyak), sehingga dapat membekas dalam jiwa pelajarannya”. Hal ini dapat dilihat dalam Q.S. al-Māidah/5:4 dan 110 yang Artinya, Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya. Demikian juga dalam Q.S. al-Māidah/5: 10 ketika Allah mengajarkan menulis, al-hikmah, Taurat, dan Injil kepada Nabi Isa a.s. tentu membutuhkan tahapan dan pengulangan-pengulangan. Karakter at-ta`līm yang membutuhkan tahapan dan pengulangan nyata dapat dilihat dari kurikulum dan sistem evaluasi. Dalam mengajarkan pelajaran tidak semua peserta didik dapat dipahamkan tanpa adanya pengulangan-pengulangan. Untuk mengecek pemahaman peserta didik dikenal juga ada tahapan ulangan. Dari ulangan itu, pendidik dapat mengetahui sejauh mana penguasaan mereka terhadap materi yang telah diajarkan.
3. Ta`dib
Di dalam Alquran tidak ada kata yang asalnya dari “a-dal-ba”. Tetapi yang diusung Naquib al-Attas dasar dari ta’dib adalah sebuah hadis yang menurut Nurcholis Majid kualitasnya dha`if, Artinya, “Tuhanku mendidikku dan kemudian mendidikku dengan baik.” Ta`dīb bisa disebut proses menjadikan seseorang beradab dalam pengertian berakhlak mulia. Jika dipahami adab sinonim dari akhlak dan tujuan akhir (aims) pendidikan adalah akhlak, maka tidak sepenuhnya salah, walaupun tetap tidak juga mencakup unsur-unsur pendidikan lainnya seperti pendidikan akal. Menurut al-Attas, ta’dīb artinya luas sekali mencakup mendidik, undangan perjamuan, kebudayaan, tata tertib sosial, kehalusan budi, kebiasaan yang baik, menghias, ketertiban, kepantasan, kemanusiaan, dan kesusastraan. Para ulama juga ada yang mengartikan dengan kepintaran, kecerdasan, dan kecerdikan.
4. Tadris
Kata tadrīs justru dipakai di Perguruan Tinggi Agama Islam sebagai nama jurusan dari Fakultas Tarbiyah. Contohnya Jurusan Tadris Matematika, Jurusan Tadris Bahasa Inggris, Jurusan Tadris IPA, dsb. Dalam Alquran dijumpai kata yang asalnya dari “da-ra-sa” dalam bentuk, “tadrusūn” dalam Q.S. Ali Imran/3:79 dan al-Qalam/68:37, “darasta” dalam Q.S. al-An`am/6:105, “darasū” dalam Q.S. al-A`raf/7:169, dan “yadrusuna” dalam Q.S. Saba/34:44. Al-Asfahani menyebutkan kata tadrīs harus meninggalkan bekas (baqāu al-atsar). Dari yang dipelajari ada yang membekas dengan hafalan. Pelajaran membekas bisa juga dengan pemahaman dan pengamalan.
B. Akhlak Wa Akhatuha
Ada beberapa istilah yang mirip bahkan sebagian dinilai sama dengan karakter, yaitu moral, etika, akhlak, adab, budi pekerti, dan sopan santun. Kata akhlak, etika, adab, moral, sopan-santun, dan bahkan karakter sudah lama digunakan oleh banyak orang tanpa mempersoalkan identitas yang detail dari semua istilah itu, tetapi kata-kata itu di tangan para akademisi mulai diperbincangkan secara kritis tekanan masing-masing istilah dari sisi persamaan dan perbedaannya. Moral dikenal dari bahasa Latin, tetapi tidak dikenal ada orang yang berteori tentang moral, sebagaimana filosof Yunani berbicara tentang teori etika. Adapun istilah “adab” dikenal dalam peradaban Arab sejak pra Islam, sementara istilah akhlak dikenal sejak Islam. Etika dalam bahasa Arab disebut “adab”. Kata “adab” juga terkadang diterjemahkan menjadi moral. Dalam banyak hal istilah etika, moral, dan karakter dalam sumbersumber “umum” tidak begitu jelas perbedaannya, kecuali dalam beberapa hal. Contohnya, etika biasa digunakan dalam bidang filsafat.
Teori Dasar Akhlak
Al-Ghazali menyebut dalam bukunya Ma`ārij al-Quds, yang Artinya, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya akal sama sekali tidak akan benar tanpa agama, demikian juga agama belum jelas kecuali dengan keterlibatan akal, akal bagaikan fondasi, sementara agama bagaikan bangunan”. Sama sekali tidak bermakna sebuah fondasi jika belum ada bangunannya, juga sama sekali tidak akan bisa berdiri bangunan jika tidak ada fondasinya. Maka agama adalah akal dari luar, sedangkan akal adalah agama dari dalam, keduanya saling bersatu dan saling memperkuat.” Nūrun `alā nūr menurut al-Ghazali adalah akal dan agama, nur yang pertama akal sedangkan nur yang kedua adalah agama.
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, maka standard untuk menentukan yang baik itu tidak lagi adat, tetapi naluri manusia pun dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk. Selanjutnya ilmu pengetahuan pun mengatakan bahwa akal manusia dapat menjangkau mana yang baik dan yang buruk, apalagi dengan menggunakan dalil-dalil agama, semakin mudah menilai yang baik dan yang buruk. Teori akhlak berkembang secara bertahap kata Ahmad Amin sesuai dengan perkembangan ilmu peradaban manusia. Dalam pandangan Islam, Alquran adalah kitab suci yang terakhir diturunkan oleh Allah kepada rasul-Nya Muhammad Saw. Kitab ini menjadi pedoman hidup manusia tanpa pandang bulu. Dengan demikian, penentuan baik dan buruk tercantum dan terkandung dalam Alquran. Dengan adanya Alquran, maka naluri, akal, dan pencapaian ilmu pengetahuan tidak boleh bertentangan dengan Alquran.